Minggu, 07 September 2008

Untuk Apa Puasa?



Oleh: Nur Akhlis*)


Barangkali bagi sebagian umat manusia yang belum memahami hakikat puasa akan bertanya Ngapain puasa? Paling hanya bikin badan lemas saja. Apalagi ditengah-tengah kondisi ekonomi seperti sekarang ini? Semua barang harganya serba mahal, mereka butuh kerja keras untuk ngumpulin uang yang banyak, sehingga butuh energi yang serba prima dan kuat biar dapat uang banyak, maka butuh makan yang kenyang, jangan sampai badan lemas.

Padahal puasa itu ternyata diwajibkan tidak hanya sebatas umat Muhammad SAW saja, tapi bagi seluruh umat manusia sebelum Rasulullah Muhammad SAW agar manusia menjadi umat yang bertakwa (Al-Baqarah:183). Sejarah mencatat, sebelum kedatangan Rasulullah Muhammad SAW, umat nabi lain diwajibkan puasa. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, sejak Nabi Nuh AS hingga nabi Isa AS, puasa wajib dilakukan tiga hari setiap bulannya. Bahkan nabi Adam diperintahkan untuk tidak memakan buah khuldi, yang ditafsirkan sebagai bentuk puasa pada masa itu. “Janganlah kamu mendekati pohon ini yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim” (Al-Baqarah;35).

Begitu pula nabi Musa perpuasa empat puluh hari empat puluh malam sehingga nabi Musa mendapat The Ten Commandments of Lord (sepuluh firman Allah). Nabi Zakariya dan Maryam sering mengamalkan puasa, nabi Daud sehari berpuasa sehari berbuka pada tiap tahunnya. Nabi Muhammad SAW sendiri sebelum diangkat menjadi Rasul telah mengamalkan puasa tiga hari setiap bulannya dan turut mengamalkan puasa Asyura yang jatuh pada hari ke-10 bulan Muharram bersama masyarakat Quraisy yang lain. Malah masyarakat Yahudi yang tinggal di Madinah pada masa itu turut mengamalkan puasa Asyura.

Begitu juga binatang dan tumbuh-tumbuhan melakukan puasa demi kelangsungan hidupnya. Selama mengerami telur, ayam harus puasa. Demikian pula ular, berpuasa baginya untuk menjaga struktur kulitnya agar tetap keras dan kuat terlindung dari sengatan matahari dan duri hingga ia tetap mampu melata di bumi. Ulat pemakan daun pun berpuasa, sehingga ia bisa berubah menjadi kupu-kupu yang indah.

Jika berpuasa merupakan sunnah thobi’iyyah (sunnah kehidupan) sebagai langkah untuk tetap survive, mengapa manusia tidak? Terlebih lagi jika kewajiban puasa diembankan kepada umat Islam, tentu saja memiliki makna filosofis dan hikmah tersendiri.

Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat ke-183 terdapat kata yang penting untuk direnungi, yaitu lafadz “kutiba” yang berarti “diwajibkan” terdiri atas mabni majhul atau passive voice (pelaku/perintah disembunyikan). Dengan bentuk kalimat tersebut menurut Quraish Shihab menunjukkan betapa penting dan bermanfaatnya puasa bagi setiap insan. Sehingga seandainya bukan Allah yang mewajibkannya, niscaya manusia sendiri yang akan mewajibkan dirinya sendiri untuk berpuasa.

Sedang kata “puasa” atau shiyam dalam term Al-qur’an berarti menahan diri, ternyata bukan hanya untuk menahan diri dari segala sesuatu yang merugikan diri sendiri atau orang lain, tetapi juga merefleksikan diri untuk turut hidup berdampingan dengan orang lain secara harmonis, menghilangkan kecemburuan sosial serta melibatkan diri dengan sikap tepo seliro, menjalin hidup dalam kebersamaan, serta melatih diri untuk selalu peka terhadap lingkungan. Gol dari puasa itu sendiri ternyata ada pada kalimat terakhir yang teramat singkat pada ayat 183 surah Al-Baqarah “Agar kalian bertakwa”. Syekh Musthofa Shodiq – al Rafi’ie dalam bukunya wahy al-Qalam men-takwil-i kata “takwa” dengan “ittiqa” yang berarti memproteksi diri dari segala bentuk nafsu kebinatangan yang menganggap perut besar sebagai agama, dan menjaga humanisme dan kodrat manusia dari perilaku layaknya binatang.

Dengan puasa, maka manusia dapat menghindari diri dari bentuk yang merugikan diri sendiri dan orang lain, serta meningkatkan kepekaan sosial terhadap sesama manusia baik sekarang atau nanti. Generasi kini atau esok.



Tidak ada komentar: