Minggu, 07 September 2008

Untuk Apa Puasa?



Oleh: Nur Akhlis*)


Barangkali bagi sebagian umat manusia yang belum memahami hakikat puasa akan bertanya Ngapain puasa? Paling hanya bikin badan lemas saja. Apalagi ditengah-tengah kondisi ekonomi seperti sekarang ini? Semua barang harganya serba mahal, mereka butuh kerja keras untuk ngumpulin uang yang banyak, sehingga butuh energi yang serba prima dan kuat biar dapat uang banyak, maka butuh makan yang kenyang, jangan sampai badan lemas.

Padahal puasa itu ternyata diwajibkan tidak hanya sebatas umat Muhammad SAW saja, tapi bagi seluruh umat manusia sebelum Rasulullah Muhammad SAW agar manusia menjadi umat yang bertakwa (Al-Baqarah:183). Sejarah mencatat, sebelum kedatangan Rasulullah Muhammad SAW, umat nabi lain diwajibkan puasa. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, sejak Nabi Nuh AS hingga nabi Isa AS, puasa wajib dilakukan tiga hari setiap bulannya. Bahkan nabi Adam diperintahkan untuk tidak memakan buah khuldi, yang ditafsirkan sebagai bentuk puasa pada masa itu. “Janganlah kamu mendekati pohon ini yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim” (Al-Baqarah;35).

Begitu pula nabi Musa perpuasa empat puluh hari empat puluh malam sehingga nabi Musa mendapat The Ten Commandments of Lord (sepuluh firman Allah). Nabi Zakariya dan Maryam sering mengamalkan puasa, nabi Daud sehari berpuasa sehari berbuka pada tiap tahunnya. Nabi Muhammad SAW sendiri sebelum diangkat menjadi Rasul telah mengamalkan puasa tiga hari setiap bulannya dan turut mengamalkan puasa Asyura yang jatuh pada hari ke-10 bulan Muharram bersama masyarakat Quraisy yang lain. Malah masyarakat Yahudi yang tinggal di Madinah pada masa itu turut mengamalkan puasa Asyura.

Begitu juga binatang dan tumbuh-tumbuhan melakukan puasa demi kelangsungan hidupnya. Selama mengerami telur, ayam harus puasa. Demikian pula ular, berpuasa baginya untuk menjaga struktur kulitnya agar tetap keras dan kuat terlindung dari sengatan matahari dan duri hingga ia tetap mampu melata di bumi. Ulat pemakan daun pun berpuasa, sehingga ia bisa berubah menjadi kupu-kupu yang indah.

Jika berpuasa merupakan sunnah thobi’iyyah (sunnah kehidupan) sebagai langkah untuk tetap survive, mengapa manusia tidak? Terlebih lagi jika kewajiban puasa diembankan kepada umat Islam, tentu saja memiliki makna filosofis dan hikmah tersendiri.

Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat ke-183 terdapat kata yang penting untuk direnungi, yaitu lafadz “kutiba” yang berarti “diwajibkan” terdiri atas mabni majhul atau passive voice (pelaku/perintah disembunyikan). Dengan bentuk kalimat tersebut menurut Quraish Shihab menunjukkan betapa penting dan bermanfaatnya puasa bagi setiap insan. Sehingga seandainya bukan Allah yang mewajibkannya, niscaya manusia sendiri yang akan mewajibkan dirinya sendiri untuk berpuasa.

Sedang kata “puasa” atau shiyam dalam term Al-qur’an berarti menahan diri, ternyata bukan hanya untuk menahan diri dari segala sesuatu yang merugikan diri sendiri atau orang lain, tetapi juga merefleksikan diri untuk turut hidup berdampingan dengan orang lain secara harmonis, menghilangkan kecemburuan sosial serta melibatkan diri dengan sikap tepo seliro, menjalin hidup dalam kebersamaan, serta melatih diri untuk selalu peka terhadap lingkungan. Gol dari puasa itu sendiri ternyata ada pada kalimat terakhir yang teramat singkat pada ayat 183 surah Al-Baqarah “Agar kalian bertakwa”. Syekh Musthofa Shodiq – al Rafi’ie dalam bukunya wahy al-Qalam men-takwil-i kata “takwa” dengan “ittiqa” yang berarti memproteksi diri dari segala bentuk nafsu kebinatangan yang menganggap perut besar sebagai agama, dan menjaga humanisme dan kodrat manusia dari perilaku layaknya binatang.

Dengan puasa, maka manusia dapat menghindari diri dari bentuk yang merugikan diri sendiri dan orang lain, serta meningkatkan kepekaan sosial terhadap sesama manusia baik sekarang atau nanti. Generasi kini atau esok.



Rabu, 03 September 2008

Arch de Trump


Kami sekeluarga bersama George Florida saat berpose di "Arch de Trump". Mr. Florida adalah salah seorang volunteer dari USA dari sebuah NGO yang bergerak dibidang Budaya dan pendidikan. Dia kan berada di Indonesia untuk memberikan asistensi di bidang Bahasa Inggris selama satu tahun. Semoga anda kerasan di Indonesia Jos. Karena Indonesia adalah negeri yang Gemahripah Loh Jinawi Tentrem Kerto Raharjo. Have a nice trip and Good Luck.

Senin, 01 September 2008

Marhaban Ya Ramadan


MARHABAN YA RAMADLAN

Oleh: Nur Akhlis*

Marhaban Ya Ramadlan, we are so happy to meet you again and we welcome you gladly. Tanpa terasa dua belas bulan berputar begitu cepat tiba-tiba kita ketemu lagi bulan yang dimuliakan Allah SWT yakni bulan Ramadlan. “Bagi siapa yang suka dengan datangnya bulan Ramadlan maka dia akan diharamkan masuk ke neraka”. Begitu kurang lebih makna salah satu hadits Rasulullah SAW.

Banyak alasan diantara kita yang suka menyambut bulan suci Ramadlan, ada yang karena memang sudah tahu bahwa bulan Ramadlan adalah bulan yang penuh berkah sehingga Ramadlan adalah merupakan special chance untuk memaksimalkan ibadahnya, karena beribadah dibulan Ramadlan pahalanya akan dilipat-gandakan oleh Allah SWT, Dzat Yang Mahapemurah.

Namun ada juga mereka yang senang dengan datangnya bulan Ramadlan, karena ingin mengejar keuntungan demi kepentingan bisnis, karena puasa berdekatan dengan hari raya lebaran volume shopping semakin tinggi maka penjualan juga meningkat. Juga banyak orang yang tidak berpuasa karena berbeda keyakinannya atau barangkali masih ogah-ogahan berpuasa tapi mereka suka dengan datangnya bulan Ramadlan hanya karena ingin memanfaatkan “berkah” dari bulan Ramadlan. Tentu bukan golongan orang-orang seperti ini yang disinyalir oleh hadits Rasulullah tersebut.

Yang terjadi ke-salahkaprah-an adalah banyak orang siap-siap berbenah baik rumah maupun pekarangan, masjid , musholla, bukan menjelang Ramadlan tapi menjelang hari raya lebaran, padahal the particular time-nya justru di bulan Ramadlan itulah sebagai chance yang tepat untuk beribadah yang banyak. Tapi mereka justru sibuk mempersiapkan hari Lebaran. Jadi yang disongsong justru Lebarannya bukan puasanya.

Dari sini bisa difahami bahwa masih banyak yang kurang pas pemahamannya tentang makna kehadiran Ramadlan, dan itu sesuai dengan hadits Rasulullah yang artinya, “Seandainya umatku tahu akan arti pentingnya hikmah di bulan Ramadlan niscaya mereka semua minta kalau bisa satu tahun dijadikan bulan Ramadlan semuanya”.

Sebagian dari para Ulama mengklasifikasikan puasa menjadi tiga level. Pertama adalah puasa tingkat awam. Ini lebih identik dengan puasa dendam. Biasanya puasa pada level ini adalah pada tataran anak-anak yang masih baru puasa atau bahkan orang dewasa sekalipun yang tingkat puasanya hanya baru pada tataran menahan diri untuk tidak makan, minum, hubungan seksual di siang hari. Sehingga ketika bedug maghrib tiba langsung makan sepuas-puasnya, karena menahan lapar dan dahaga seharian. Dan itu wajar-wajar saja karena kebutuhan fa’ali manusia yang sangat urgent adalah makan, minum, dan ngesek.

Kedua adalah puasa tingkatan khos. Dalam level ini, berpuasa tidak hanya sekedar menahan diri dari makan, minum, dan kumpul suami istri di siang hari, tapi lebih dari itu panca indera juga ikut puasa. Bagaimana menjaga mata untuk tidak jelalatan melihat sesuatu yang termasuk dilarang oleh agama di bulan Ramadlan, begitupun telinga, apalagi mulut. Karena mulut rawan dengan “kecelakaan” baik yang namanya rasan-rasan (membicarakan aib orang lain), misuh-misuh (bicara jorok, sarkasme), adu domba, bohong, memfitnah, dan masih banyak ruang “kecelakaan” mulut yang lain. Maka manakala, panca indera masih banyak melakukan aktifitas yang dilarang oleh agama berarti “hancurlah” pahala puasa seseorang. Dan ini seperti yang disindir oleh Rasulullah dalam haditsnya, “Banyak orang menjalankan ibadah puasa tapi mereka tidak mendapatkan apa-apa kecuali hanya lapar dan dahaga saja”. Sehingga mari kita berusaha step by step untuk melatih puasa pada tataran yang kedua ini agar nilai puasa kita bisa bertambah.

Ketiga adalah puasa tingkatan khowasil khowas. Sudah barang tentu ini adalah puasa pada tingkatan advance yang sangat tinggi, karena tingkatan ini tidak hanya sekedar menahan diri dari kebutuhan fa’ali (makan, minum, hubungan badan suami istri di siang hari), juga menahan (puasa) panca indera tapi juga hatinya juga ikut puasa. Bagaimana menjaga hati untuk tidak terjebak dengan penyakit-penyakit hati, baik arogan, iri, serakah serta yang lain-lainnya.

Pada tingkatan orang awam seperti penulis juga disini memang rasanya masih berat untuk menjalankan ibadah puasa berada di level kedua maupun ketiga, tapi mari kita berusaha semaksimal mungkin untuk menapaki jenjang tersebut setapak demi setapak. Kalau tidak mulai sekarang kapan lagi?

Kemudian yang perlu diperhatikan juga dalam menjalankan ibadah puasa adalah tentang rukun-rukun puasa: Niat berpuasa dengan tekad bulat untuk berpuasa lillahi taala dan Menahan diri dari semua yang membatalkan puasa sejak terbit fajar sampai dengan terbenamnya matahari. Sedangkan yang membatalkan puasa: Makan dan minum dengan sengaja, Berhubungan badan di siang hari, Haid atau nifas, Muntah dengan disengaja.

Adab serta sunah dalam menjalankan ibadah puasa juga tidak ada salahnya kita perhatikan, seperti; Menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur, Menahan mulut, mata, telinga dari apa-apa yang dilarang oleh Allah SWT, jika tidak maka sia-sialah puasanya, Rajin-rajinlah bersedekah apalagi di bulan Ramadlan pahalanya akan berlipat ganda, Perbanyak membaca al-qur’an baik siang dan malam, memeriahkan malamnya bulan Ramadlan dengan amalan-amalan ibadah seperti shalat tarawih, tahajut, hajat, taubat, tsubutul iman, tasbih, dan masih banyak amalan-amalan yang lain seperti dzikir, tadarus, dll.

Di bulan Ramadlan ada satu malam yang disebut lailatul qadr, yang mana nilai kebaikan malam qadr ini melebihi seribu bulan. Keistimewaan Lailatul Qadr ini tidak mungkin diraih keculai oleh orang-orang tertentu saja. Yaitu oang-orang yang mukhlis dalam menjalankan ibadah Ramadlan dan sudah ready sejak awal untuk menyambut sangtamu” agung ini.

Kehadiran Lailatul Qodr ini diprediksi oleh Rasulullah SAW di 10 hari paruh terakhir bulan Ramadlan. Sekiranya manusia telah mengasah dan mengasuh jiwanya selama 20 hari berpuasa Ramadlan mereka diharapkan sudah berada ditingkat kesadaran dan kesucian, maka Lailatul Qadr datang menemui manusia tersebut. Saat itu bagi yang mendapatkan lailatul Qadr adalah merupakan “titik tolak” untuk meraih kemuliaan hidup dikemudian hari. Dan mari kita persiapkan sedini mungkin untuk menyambut Lailatul Qodr. Jangan sampai schedule malam yang penuh berkah ini terabaikan begitu saja, karena biasanya pada saat pertengahan puasa semangat ibadah mulai mengendor, jamaah taraweh semakin maju shof­nya.

Akhirnya Selamat menunaikan Ibadah Ramadlan dengan penuh keimanan, keikhlasan dan penuh pengharapan ridlo dari Allah SWT selebihnya biar Allah SWT yang menentukannya.

Penulis adalah Dosen tetap STAIN Kediri dan Direktur Lembaga Bahasa Inggris EECC Pare Kediri web. www.eeccpare.blogspot.com

Senin, 25 Agustus 2008

BERMAAF-MAAFAN



BERMAAF-MAAFAN

Oleh Nur Akhlis*

Konon kata “apem” berasal dari bahasa Arab, derivasi dari kata “afwun” yang berarti ampunan, kemudian kata afwun ini oleh lidah orang Jawa menjadi “apem” yaitu jenis kue yang dijadikan tradisi orang Jawa sebagai jajan khas menjelang bulan puasa (Sya’ban). Mereka saling membuat kue apem sebagai simbul bahwa menjelang bulan puasa kita harus saling bermaaf-maafan agar dalam menjalankan ibadah puasa bisa lebih khusuk dan enjoy, karena secara horisontal sudah tidak punya beban “dosa” dengan tetangga, teman, saudara dengan terselenggaranya prosesi saling memaafkan menjelang ibadah puasa.

Sayangnya ikon yang dibangun oleh the founding father-nya tradisi tersebut sudah semakin kehilangan makna atau tidak banyak dimengerti oleh generasi sekarang, tapi paling tidak masih banyak orang Jawa melestarikan tradisi membuat apem menjelang puasa kemudian dijadikan bahan tambahan ampas kolak sebagai menu khas puasa.

Mereka biasanya saling membawa kue apem saat megengan, baik ke masjid, musholla atau saling berbagi dengan tetangga. “Prosesi” kecil-kecilan di masjid dan musholla biasanya dipimpin oleh para kiai atau tokoh agama sambil menyampaikan sepatah dua patah kata dengan diiringi tradisi saling bermaaf – maafan serta tanbih (pemberitahuan) bahwa sebentar lagi kita akan menuaikan ibadah puasa. Kemudian bagi mereka yang saling berbagi kue apem dengan sesama tetangga adalah bentuk silaturrohim khusus yang substansinya adalah saling meminta maaf untuk membersihkan hati, mensucikan diri.

Sebetulnya yang harus dibangun adalah proses “pencucian” diri menjelang puasa dari kotoran-kotoran hati, baik yang bernama hasud, kibr, ujub, maupun riya’. Diupayakan agar penyakit-penyakit tersebut dibersihkan “sebersih mungkin” dengan cara niat yang benar, saling bermaaf-maafan dan taubatan nasuha sehingga dalam menjalankan ibadah puasa betul-betul enjoy. Saat puasa tiba mereka tidak akan gampang tergoda oleh orang jualan makanan, tidak mudah loyo ketika bekerja, tapi selalu dalam kondisi batin yang tetap prima dan betul – betul penuh keimanan dan keikhlasan. Insya Allah gambaran puasa seperti inilah yang sesuai dengan janji Rasulullah, ”Barang siapa yang puasa bulan Romadlon dengan penuh keimanan dan keikhlasan, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”

Untuk membangun dan melestarikan tradisi saling bermaaf-maafan ketika berbuat salah terutama kepada sesama manusia ternyata bukanlah pekerjaan yang gampang. Bisa jadi seseorang akan cepat sadar dan meminta maaf saat khilaf dan berbuat salah, ini adalah contoh yang baik. Tapi tidak sedikit orang yang berbuat salah api tidak mau meminta maaf, mungkin karena gengsi, merasa lebih unggul dari yang lain, atau ada alasan lain.

Menurut keterangan Sufyan Tsauri ra (guru dari Imam Malik): Kullu ma’siatin ‘an syahwatin fainnahu yurja ghufronuha, kullu ma’siatin ‘an kibrin fainnahu la yurja ghuronuha, lianna ma’siata iblisa kana ashluha min alkibri wazallata sayyidina adama kana ashluha min alsyahwati. Artinya setiap maksiat/durhaka yang timbul dari syahwat dapatlah diharapkan ampunannya, tapi setiap maksiat/durhaka yang timbul dari sikap sombong tidaklah dapat diharapkan ampunannya; karena kedurhakaan iblis itu berpangkal dari kesombongan, sedang “kesalahan” Adam as berpangkal pada syahwat.

Syahwat ialah keinginan nafsu jelek untuk melakukan sesuatu, sedang sombong adalah perasaan diri lebih unggul. Iblis berbuat durhaka, yaitu menentang perintah Allah untuk bersujud kepada Adam as, Iblis menolak karena merasa dirinya lebih unggul dari pada Nabi Adam as. Sedang “kedurhakaan” Nabi Adam as yaitu melanggar larangan Allah makan buah Khuldi, adalah semata-mata karena dorongan keinginan nafsu, itupun karena iblis berulang-ulang kali memprovokasi sayyidatina Hawa as. Iblis tidak dapat diampuni, sedang Nabi Adam dapat atau memperoleh ampunan Allah.

Jelas bahwa ketika seseorang berbuat salah, durhaka atau maksiat akan bisa dicari sumbernya apakah dari dorongan nafsu atau dari kesombongan. Ketika akar penyebab kemaksiatan terdeteksi maka mereka akan memperoleh ampunan atau tidak, meminta maaf atau tidak? Jawabnya adalah tergantung apa penyebabnya.

Sekarang tinggal kita bagaimana, kesalahan model mana yang telah kita perbuat? Apakah kita termasuk orang yang mewarisi tipe kesalahan Iblis sehingga menjadi generasi penerusnya yang tidak mau minta maaf dan tidak ingin dimaafkan oleh Allah terlebih dihari yang fithri ini? Atau kita termasuk anak Adam yang sadar atas kekhilafannya sehingga sesegera sadar dan minta ampunan kepada Allah, karena Allah adalah Dzat Yang Maha Pengampun, Pengasih dan Penyayang. Maukah kita saling bermaaf-maafan dengan saudara, kawan dan tetangga kita atau tidak Silakan.

*Penulis adalah Kepala Pusat Kajian Bahasa Inggris STAIN Kediri dan direktur lembaga bahasa Inggris EECC Pare.

Selasa, 03 Juni 2008

Cerita Islami


API PERTAMA

Nabi Adam AS dan ibu Hawa, istrinya, terusir dari surga karena tipuan iblis. Dengan perasaan sangat menyesal mereka meninggalkan tempat yang penuh kebahagiaan itu. Mereka berdua diturunkan ke bumi dan terpaksa harus bersusah payah mencari makan, minum dan tempat tinggal. Apa yang mereka alami jauh berbeda dengan di surga yang serba indah, dan nikmat.

Ketika mendapatkan daging buruan, mereka bingung bagaimana harus memasaknya. Maka berdoalah Nabi Adam AS memohon petunjuk kepada Allah yang Maha Pencipta.

Allah SWT memerintahkan malaikat Jibril untuk mendatangi malaikat Malik, penjaga neraka. Di pintu neraka malaikat Malik bertanya:

“Apa maksud kedatanganmu kesini wahai Jibril?”

“Aku ingin meminta sedikit api untuk keperluan masak nabi Adam di bumi”

“Seberapa banyak?”

“Sebesar buah kurma cukuplah.”

“Jika kuberikan sebesar kurma, akan hanguslah langit dan bumi karena panasnya.”

“Kalau begitu, separuhnya saja.”

“Separuhnya sekalipun masih sangat panas. Langit tak akan lagi mencurahkan hujan dan bumi tak akan lagi dapat menumbuhkan tanaman.”

Lantas Jibril memohon kepada Allah: “Ya Allah, seberapa banyakkah api yang harus kuminta?”

“Sebesar biji zarrah saja.” Jawab Allah.

Biji zarrah tak lebih besar dari biji bayam. Sebesar itulah api untuk dunia yang diminta malaikat Jibril dari malaikat Malik.

Ketika menyerahkan sumber api tersebut, malaikat Malik berpesan: “Jangan langsung kau berikan kepada nabi Adam AS.”

“Mengapa?” Tanya Jibril.

“Masih terlalu panas, kalau hanya digunakan untuk sekedar memasak.”

“Jadi, harus diapakan dulu?”

“Cucilah lebih dahulu.”

“Dengan apa?”

Mengikuti saran malaikat Malik, maka dicucilah api yang baru diambil dari neraka itu dengan air yang berasal dari tujuh puluh sungai. Bilasannya pun tujuh puluh kali. Begitupun, api itu tidak langsung diserahkan kepada nabi Adam AS. Ketika dibawa ke bumi, mula-mula api tersebut diletakkan diatas sebuah bukit. Apa yang terjadi? Seketika itu bukit musnah. Api itu kembali ke tempat asalnya di neraka. Sisa asapnya membekas diatas batu-batu dan besi, warnanya hitam sampai sekarang.

Jadi api yang kita lihat di dunia sampai sekarang ini hanyalah sisa dari percikan asap api neraka. Ukurannya tak lebih besar dari sebiji zarrah. Wallahu A’lam

Sabtu, 24 Mei 2008

Sakit


SAKIT

Oleh Nur Akhlis*)

Sakit? Siapa yang mau? Emang enak? Itulah kalimat retoris yang muncul dalam diri kita ketika kita ditawari ganjaran yang namanya sakit. Sebagai orang awam pasti kita akan menolak “pahala” khusus dari Allah tersebut, dan Allah adalah Dzat yang Maha Bijaksana maka siapapun akan mendapat “berkah” yang namanya sakit tersebut, dan kita pun tidak mampu menolak kehendak Allah. Kalau kita sudah “menerima” sakit yang sering kita lakukan adalah berkeluh kesah, murung, sedih, tidak sabaran, stress, dll., bahkan kalau bisa ketika kita sakit maunya semua orang harus tahu kalau kita sedang sakit, minimal mereka mendengar.

Sebetulnya dibalik sakit ada banyak hikmah yang bisa kita ambil pelajaran, diantaranya pertama sesungguhnya sakit bukan merupakan penyakit, tapi justru sebagai obat. Bukankah umur kita ini adalah modal hidup kita? Bukankah kita sering menggunakan umur kita ini sia-sia untuk hal-hal yang kurang bermanfaat, bersenang-senang yang terasa sebentar dan begitu cepat? Padahal setiap saat kita melakukan kesenangan tersebut dan berlama-lama. Tapi begitu kita kena “musibah” sebentar saja rasanya lama sekali.

Kita sering ngedumel, ketika kena musibah (sakit) walau cuma sedikit saja, contoh, saat jari kita kesusupan duri hanya beberapa mili saja kita sering mengeluh yang berlebih-lebihan tidak sebanding dengan kenikmatan yang kita peroleh sehari-hari secara gratis dari Allah. Maka sakit yang sedikit dan sebentar tapi berasa lama ini adalah modal bagi kita untuk mengobati “penyakit” kita yang berupa lalai, foya-foya, senang-senang, dll. Sakit ini tidak akan membiarkan hari-hari kita berlalu dengan cepat. Ia akan memperlambat kita untuk berbuat sesuatu yang tidak bermanfaat, tapi kita akan berlama-lama untuk dzikir kepada Allah saat kita sedang sakit. Maka nikmatilah sakit dengan keikhlasan dan kesabaran.

Kedua, sesungguhnya kehadiran kita di dunia ini tidak dalam rangka bersenang-senang, bahkan kita umat manusia ini adalah makhluk Allah yang paling pede untuk memikul amanat penderitaan. Kita datang ke dunia dalam rangka mendapatkan kebahagiaan hidup abadi lewat jalan perjuangan amal saleh melalui pemanfaatan umur kita. Ketika sakit kita hilang, kita akan kembali jatuh pada kelalaian sebagai akibat dari sehat yang tidak dimanfaatkan. Akhirnya dunia ini tampak begitu manis, menggoda, menjanjikan kesenangan. Ketika itulah kita ditimpa penyakit lupa kepada akhirat, lupa bersyukur, lupa daratan, lupa diri, lupa mati dan lupa yang lain-lainnya. Padahal ketika sakit, dengan cepat kita sadar sambil membuka mata dan berkata, “Kita ini tidaklah kekal di dunia dan tidak dibiarkan begitu saja oleh Allah. Kita dihadirkan ini adalah untuk sebuah tugas. Janganlah lupa diri dan ingatlah kepada Allah.”

Dengan demikian, ternyata sakit berposisi sebagai pembimbing, penasehat, dan pengingat. Karena itu, tidak perlu mengeluhkannya. Bahkan dilihat dari sisi tersebut, orang yang terkena sakit harus berlindung dalam naungan syukur, karena selalu ingat Allah.

Ketiga, sesungguhnya penyakit itu tidak melenyapkan nikmat karunia ilahi yang terdapat dalam sehat. Justru sebaliknya, sakit membuat kita bisa merasakannya bahkan menjadikannya lebih nikmat. Sebab, sesuatu bisa dikenali lewat kebalikannya. Contohnya, kalau tidak ada gelap manusia tidak akan mengenal cahaya dan tidak akan mengetahui nikmatnya. Kalau tidak ada dingin, manusia tidak akan mengenal panas dan tidak mengetahui kehangatannya. Kalau tidak ada lapar, manusia tidak akan bisa mengetahui nikmatnya makan beserta rasanya. Kalau tidak ada sakit manusia tidak akan merasakan kesembuhan. Serta kalau tidak ada penyakit manusia tidak akan mengetahui nikmatnya sehat.

Ketika Allah hendak mengingatkan manusia terhadap berbagai karunia-Nya dan mencicipkan berbagai nikmat-Nya sehingga mau manusia bersyukur, Dia melengkapinya dengan berbagai perangkat yang sangat banyak agar manusia bisa merasakan ribuan nikmat-Nya. Karena itu sudah barang tentu Dia juga menurunkan penyakit sebagaimana Dia memberikan sehat dan kesembuhan.

Mari kita bertanya pada diri kita sendiri, “Seandainya tidak ada penyakit yang menimpa kepala kita, tangan kita, atau perut kita, apakah kita mampu merasakan nikmat sehat yang ada pada kepala, tangan, atau perut kita? Apakah kita mampu merasakan sekaligus mensyukuri karunia ilahi yang diperlihatkan oleh nikmat tersebut? Yang terjadi justru sebaliknya. Kita sering lupa bersyukur, sering alpa. Dengan kealpaan tadi, tanpa disadari kita sering mempergunakan kesehatan tersebut dalam kehinaan.”

Jadi tidak perlu sedih dan khawatir ketika kita sakit karena Allah sudah menyediakan obatnya, sebagaimana janji Allah dalam Alqur’an surat as- Syu’araa ayat 79 – 80 yang artinya: “Dialah yang memberi makan dan minum. Jika aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku” Wallahu A’lam.

*)Tulisan ini telah terbit di Radar Kediri (Jawa Pos Group) 2 Mei 2008

Selasa, 06 Mei 2008

Munajat Syekh Asy-Syibliy

Di dalam kitab Nashoihul Ibad karangan Imam Nawawi Banten, yang merupakan Syarah kitab Al-Munabbihat Alal Isti’dad Liyaumil Ma’ad karangan Syekh Syihabuddin Ahmad Ibnu Hajar Al – Asqolaniy, Ulama’ besar ahli hadits yang mensyarahi Shahih Bukhori menjadi Fathul Bari, dalam Bab TSUNAII maqolah yang ke – 28 diterangkan;

Dari Abu Bakar Asy-Sybliy Rahimahullah berkata dalam munajatnya:

“Wahai Tuhanku, sungguh aku senang mengahturkan kepada-Mu seluruh kebajikanku berikut kemelaratanku dan kelemahanku, maka bagaimana lagi Engkau oh Tuhanku, tidak suka menganugerahkan kepadaku seluruh kejelekanku berikut ke-Maha-kaya-an Mu untuk tidak menyiksaku”.

Kemelaratan disini diartikan dengan keperluan untuk memperoleh kebajikan, dan kelemahan dimaksudkan dengan kelemahan untuk memperbanyak ibadah. Sedang permohonan agar tidak disiksa, karena sesungguhnya kejelekan hamba itu tidak merugikan Allah sebagaimana kebaikan juga tidak menguntungkan-Nya.

Abu Bakar Asy-Syibliy ialah Abu Bakar Dalaf bin Jahdar, lahir dan hidup di Baghdad. Termasuk salah seorang Arif yang agung, menjadi sahabat Imam Al-Junaid dan Ulama lain seperiode dengannya. Imam Asy-Syibliy mengikuti madzhab Imam Malikiy, hidup selama 87 tahun dan wafat tahun 334 H. dimakamkan di Baghdad Irak.