Senin, 25 Agustus 2008

BERMAAF-MAAFAN



BERMAAF-MAAFAN

Oleh Nur Akhlis*

Konon kata “apem” berasal dari bahasa Arab, derivasi dari kata “afwun” yang berarti ampunan, kemudian kata afwun ini oleh lidah orang Jawa menjadi “apem” yaitu jenis kue yang dijadikan tradisi orang Jawa sebagai jajan khas menjelang bulan puasa (Sya’ban). Mereka saling membuat kue apem sebagai simbul bahwa menjelang bulan puasa kita harus saling bermaaf-maafan agar dalam menjalankan ibadah puasa bisa lebih khusuk dan enjoy, karena secara horisontal sudah tidak punya beban “dosa” dengan tetangga, teman, saudara dengan terselenggaranya prosesi saling memaafkan menjelang ibadah puasa.

Sayangnya ikon yang dibangun oleh the founding father-nya tradisi tersebut sudah semakin kehilangan makna atau tidak banyak dimengerti oleh generasi sekarang, tapi paling tidak masih banyak orang Jawa melestarikan tradisi membuat apem menjelang puasa kemudian dijadikan bahan tambahan ampas kolak sebagai menu khas puasa.

Mereka biasanya saling membawa kue apem saat megengan, baik ke masjid, musholla atau saling berbagi dengan tetangga. “Prosesi” kecil-kecilan di masjid dan musholla biasanya dipimpin oleh para kiai atau tokoh agama sambil menyampaikan sepatah dua patah kata dengan diiringi tradisi saling bermaaf – maafan serta tanbih (pemberitahuan) bahwa sebentar lagi kita akan menuaikan ibadah puasa. Kemudian bagi mereka yang saling berbagi kue apem dengan sesama tetangga adalah bentuk silaturrohim khusus yang substansinya adalah saling meminta maaf untuk membersihkan hati, mensucikan diri.

Sebetulnya yang harus dibangun adalah proses “pencucian” diri menjelang puasa dari kotoran-kotoran hati, baik yang bernama hasud, kibr, ujub, maupun riya’. Diupayakan agar penyakit-penyakit tersebut dibersihkan “sebersih mungkin” dengan cara niat yang benar, saling bermaaf-maafan dan taubatan nasuha sehingga dalam menjalankan ibadah puasa betul-betul enjoy. Saat puasa tiba mereka tidak akan gampang tergoda oleh orang jualan makanan, tidak mudah loyo ketika bekerja, tapi selalu dalam kondisi batin yang tetap prima dan betul – betul penuh keimanan dan keikhlasan. Insya Allah gambaran puasa seperti inilah yang sesuai dengan janji Rasulullah, ”Barang siapa yang puasa bulan Romadlon dengan penuh keimanan dan keikhlasan, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”

Untuk membangun dan melestarikan tradisi saling bermaaf-maafan ketika berbuat salah terutama kepada sesama manusia ternyata bukanlah pekerjaan yang gampang. Bisa jadi seseorang akan cepat sadar dan meminta maaf saat khilaf dan berbuat salah, ini adalah contoh yang baik. Tapi tidak sedikit orang yang berbuat salah api tidak mau meminta maaf, mungkin karena gengsi, merasa lebih unggul dari yang lain, atau ada alasan lain.

Menurut keterangan Sufyan Tsauri ra (guru dari Imam Malik): Kullu ma’siatin ‘an syahwatin fainnahu yurja ghufronuha, kullu ma’siatin ‘an kibrin fainnahu la yurja ghuronuha, lianna ma’siata iblisa kana ashluha min alkibri wazallata sayyidina adama kana ashluha min alsyahwati. Artinya setiap maksiat/durhaka yang timbul dari syahwat dapatlah diharapkan ampunannya, tapi setiap maksiat/durhaka yang timbul dari sikap sombong tidaklah dapat diharapkan ampunannya; karena kedurhakaan iblis itu berpangkal dari kesombongan, sedang “kesalahan” Adam as berpangkal pada syahwat.

Syahwat ialah keinginan nafsu jelek untuk melakukan sesuatu, sedang sombong adalah perasaan diri lebih unggul. Iblis berbuat durhaka, yaitu menentang perintah Allah untuk bersujud kepada Adam as, Iblis menolak karena merasa dirinya lebih unggul dari pada Nabi Adam as. Sedang “kedurhakaan” Nabi Adam as yaitu melanggar larangan Allah makan buah Khuldi, adalah semata-mata karena dorongan keinginan nafsu, itupun karena iblis berulang-ulang kali memprovokasi sayyidatina Hawa as. Iblis tidak dapat diampuni, sedang Nabi Adam dapat atau memperoleh ampunan Allah.

Jelas bahwa ketika seseorang berbuat salah, durhaka atau maksiat akan bisa dicari sumbernya apakah dari dorongan nafsu atau dari kesombongan. Ketika akar penyebab kemaksiatan terdeteksi maka mereka akan memperoleh ampunan atau tidak, meminta maaf atau tidak? Jawabnya adalah tergantung apa penyebabnya.

Sekarang tinggal kita bagaimana, kesalahan model mana yang telah kita perbuat? Apakah kita termasuk orang yang mewarisi tipe kesalahan Iblis sehingga menjadi generasi penerusnya yang tidak mau minta maaf dan tidak ingin dimaafkan oleh Allah terlebih dihari yang fithri ini? Atau kita termasuk anak Adam yang sadar atas kekhilafannya sehingga sesegera sadar dan minta ampunan kepada Allah, karena Allah adalah Dzat Yang Maha Pengampun, Pengasih dan Penyayang. Maukah kita saling bermaaf-maafan dengan saudara, kawan dan tetangga kita atau tidak Silakan.

*Penulis adalah Kepala Pusat Kajian Bahasa Inggris STAIN Kediri dan direktur lembaga bahasa Inggris EECC Pare.