Selasa, 22 April 2008

Ikhlas

IKHLAS

Di dalam surat az-Zumar ayat 2 dan 3, Allah SWT berfirman yang artinya Wallahu a’lam; “Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu kitab al-Qur’an dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya. Ingatlah hanya kepunyaan Allah agama yang bersih’. (QS. Az – Zumar: 2-3)

Dan Rasul SAW juga besabda, “Sesungguhnya manusia celaka kecuali yang berilmu. Yang berilmu juga celaka kecuali yang mengamalkan ilmunya. Yang mengamalkan ilmunya juga celaka kecuali yang ikhlas. Dan orang yang ikhlas dihadapkan pada bahaya besar”.

Ayat dan hadits diatas menunjukkan betapa pentingnya kedudukan ikhlas dalam Islam. Ia menjadi landasan utama dalam semua urusan agama.

Yang jadi pertanyaan besar dan mengherankan adalah: “Mengapa para pemuka agama, para ulama, para abid, sebagai golongan orang-orang yang mendapat petunjuk, taufik, dan restu dariNya saling bertikai, sementara para ahli materi, kaum yang lalai, bahkan yang munafiq sekalipun justru saling bersatu tanpa ada pertikaian atau kedengkian diantara satu dengan lainnya? Padahal keharmonisan tersebut seharusnya menjadi milik kelompok yang mendapat taufik, bukan milik kaum materialistik dan munafik. Bagaimana kebenaran dan kebatilan itu bertukar posisi? Apalagi disaat musim pemilu seperti sekarang. What’s wrong?

Saya tidak tahu pasti jawabannya, hanya asumsi atau dzan saya bahwa perselisihan diantara ahlul haq bukan karena mereka tidak berpegang pada kebenaran. Dan juga sebaliknya bahwa keharmonisan dan persatuan kaum materialistik dan lalai itu juga tercipta bukan karena mereka tunduk pada kebenaran. Akan tetapi, tugas dan pekerjaan kaum materialistik , politikus serta lapisan masyarakat lainnya sudah jelas dan berbeda. Setiap kelompok, dan perkumpulan memiliki tugas masing – masing dan tentunya upah materi yang mereka dapatkan. Demikian pula dengan upah psikologis juga mereka terima seperti penghargaan, popularitas dan kemasyhuran begitu jelas.

Padahal penghargaan dan penghormatan manusia tidaklah dicari, tetapi diberi. Andaipun penghargaan itu diraih janganlah bangga dengannya. Jika seseorang senang menerima penghargaan manusia, berarti ia tidak ikhlas dan jatuh ke dalam riya.

Adapun usaha mencari popularitas dan nama baik juga mencakup keinginan untuk mendapat penghargaan manusia bukan merupakan upah atau ganjaran. Tetapi justru merupakan hukuman yang diakibatkan oleh ketiadaan ikhlas.

Penghargaan dan penghormatan tidak boleh dicari. Sebab dibalik kenikmatan yang sedikit itu ada sesuatu yang membahayakan keikhlasan yang merupakan ruh dari amal saleh. Selain itu, penghargaan tersebut hanya bertahan sampai pintu kubur. Selanjutnya di balik kubur ada siksa yang pedih. Karena itu, tidak selayaknya mengharap penghormatan dan penghargaan manusia. Justru ia harus ditakuti dan dijauhi. Inilah yang harus diperhatikan oleh para pencari popularitas dan mereka yang meminta penghargaan manusia.

Karena itu, tidak ada yang menjadi faktor penyebab timbulnya persaingan, pertikaian atau kedengkian diantara mereka. Juga tidak ada alasan bagi mereka untuk berdebat dan bertikai. Maka, mereka bisa kelihatan harmonis.

Adapun para pemuka agama, para ulama, dan para abid tugas masing – masing mereka tertuju kepada seluruh masyarakat, untuk kepentingan umat, sedangkan upah materinya tidak jelas. Begitu pula dengan kedudukan social dan penghargaan yang mereka dapatkan.

Sebetulnya ada peluang yang menjanjikan dan ngiming – ngimingi untuk sebuah kedudukan apakah itu kursi bupati/wali kota atau wakilnya, gubernur atau wakilnya, presiden atau wakilnya serta upah psikologis berupa penghormatan, penghargaan, sanjungan dll. Dari sinilah muncul pertikaian, persaingan, kedengkian, dan kecemburuan. Sebagai akibatnya, keharmonisan berubah menjadi penyakit nifak dan kesatuan berubah menjadi perpecahan.

Penyakit kronis ini tidak akan bisa sembuh kecuali dengan diberi obat yang benar – benar mujarab yang bernama Ikhlas.

Dengan kata lain, seseorang harus berusaha dengan segala kekuatannya untuk mengaplikasikan firman Allah surat Yunus yang artinya, “Upahku ada di tangan Allah”. (QS Yunus: 72).

Caranya adalah dengan lebih mengedepankan kebenaran dan petunjuk ketimbang mengikuti hawa nafsu. Dengan kata lain harus mendahulukan orang lain daripada diri sendiri dalam menerima hadiah dan sedekah, serta tidak menerima balasan atas pengabdian yang dilakukan demi agama. Bahkan di dalam hati tidak menuntutnya. Kalaupun kemudian diberi, hal itu harus diangap sebagai karunia ilahi bukan semata – mata pemberian manusia. Sebab, tidak boleh meminta balasan duniawi atas pengabdian di jalan ukhrowi agar keikhlasan tetap terpelihara. Meskipun umat harus menjamin kehidupan mereka (orang-orang yang mengabdikan dirinya pada agama), dan meskipun mereka berhak menerima zakat, namun mereka tidak boleh meminta apapun dari manusia. Bahkan walaupun mereka diberi sesuatu, mereka tidak boleh mengambilnya sebagai balasan atas tugas keagamaan yang mereka lakukan. Karena itu, lebih baik mengutamakan orang yang lebih berhak menerimanya disertai sikap ridlo dan qonaah terhadap rizki yang Allah berikan agar termasuk orang yang mendapat pujian dari al-Quran, “Mereka lebih mengutamakan orang lain atas diri mereka sendiri, meskipun mereka sebenarnya memerlukan”. (QS. Al-Hasyr: 9). Keika itulah, seseorang akan bisa ikhlas sekaligus bisa menyelamatkan dirinya dari kebinasaan.

Siapa yang diberi taufik kearah itu, ia akan merasakan lezatnya ikhlas. Tetapi jika tidak, ia akan kehilangan banyak kebaikan. Wallahu a’lam.

*) Tulisan ini telah terbit di RADAR KEDIRI (Jawa Pos Group) tanggal 14 Maret 2008 oleh Nur Akhlis

Tidak ada komentar: