Sabtu, 24 Mei 2008

Sakit


SAKIT

Oleh Nur Akhlis*)

Sakit? Siapa yang mau? Emang enak? Itulah kalimat retoris yang muncul dalam diri kita ketika kita ditawari ganjaran yang namanya sakit. Sebagai orang awam pasti kita akan menolak “pahala” khusus dari Allah tersebut, dan Allah adalah Dzat yang Maha Bijaksana maka siapapun akan mendapat “berkah” yang namanya sakit tersebut, dan kita pun tidak mampu menolak kehendak Allah. Kalau kita sudah “menerima” sakit yang sering kita lakukan adalah berkeluh kesah, murung, sedih, tidak sabaran, stress, dll., bahkan kalau bisa ketika kita sakit maunya semua orang harus tahu kalau kita sedang sakit, minimal mereka mendengar.

Sebetulnya dibalik sakit ada banyak hikmah yang bisa kita ambil pelajaran, diantaranya pertama sesungguhnya sakit bukan merupakan penyakit, tapi justru sebagai obat. Bukankah umur kita ini adalah modal hidup kita? Bukankah kita sering menggunakan umur kita ini sia-sia untuk hal-hal yang kurang bermanfaat, bersenang-senang yang terasa sebentar dan begitu cepat? Padahal setiap saat kita melakukan kesenangan tersebut dan berlama-lama. Tapi begitu kita kena “musibah” sebentar saja rasanya lama sekali.

Kita sering ngedumel, ketika kena musibah (sakit) walau cuma sedikit saja, contoh, saat jari kita kesusupan duri hanya beberapa mili saja kita sering mengeluh yang berlebih-lebihan tidak sebanding dengan kenikmatan yang kita peroleh sehari-hari secara gratis dari Allah. Maka sakit yang sedikit dan sebentar tapi berasa lama ini adalah modal bagi kita untuk mengobati “penyakit” kita yang berupa lalai, foya-foya, senang-senang, dll. Sakit ini tidak akan membiarkan hari-hari kita berlalu dengan cepat. Ia akan memperlambat kita untuk berbuat sesuatu yang tidak bermanfaat, tapi kita akan berlama-lama untuk dzikir kepada Allah saat kita sedang sakit. Maka nikmatilah sakit dengan keikhlasan dan kesabaran.

Kedua, sesungguhnya kehadiran kita di dunia ini tidak dalam rangka bersenang-senang, bahkan kita umat manusia ini adalah makhluk Allah yang paling pede untuk memikul amanat penderitaan. Kita datang ke dunia dalam rangka mendapatkan kebahagiaan hidup abadi lewat jalan perjuangan amal saleh melalui pemanfaatan umur kita. Ketika sakit kita hilang, kita akan kembali jatuh pada kelalaian sebagai akibat dari sehat yang tidak dimanfaatkan. Akhirnya dunia ini tampak begitu manis, menggoda, menjanjikan kesenangan. Ketika itulah kita ditimpa penyakit lupa kepada akhirat, lupa bersyukur, lupa daratan, lupa diri, lupa mati dan lupa yang lain-lainnya. Padahal ketika sakit, dengan cepat kita sadar sambil membuka mata dan berkata, “Kita ini tidaklah kekal di dunia dan tidak dibiarkan begitu saja oleh Allah. Kita dihadirkan ini adalah untuk sebuah tugas. Janganlah lupa diri dan ingatlah kepada Allah.”

Dengan demikian, ternyata sakit berposisi sebagai pembimbing, penasehat, dan pengingat. Karena itu, tidak perlu mengeluhkannya. Bahkan dilihat dari sisi tersebut, orang yang terkena sakit harus berlindung dalam naungan syukur, karena selalu ingat Allah.

Ketiga, sesungguhnya penyakit itu tidak melenyapkan nikmat karunia ilahi yang terdapat dalam sehat. Justru sebaliknya, sakit membuat kita bisa merasakannya bahkan menjadikannya lebih nikmat. Sebab, sesuatu bisa dikenali lewat kebalikannya. Contohnya, kalau tidak ada gelap manusia tidak akan mengenal cahaya dan tidak akan mengetahui nikmatnya. Kalau tidak ada dingin, manusia tidak akan mengenal panas dan tidak mengetahui kehangatannya. Kalau tidak ada lapar, manusia tidak akan bisa mengetahui nikmatnya makan beserta rasanya. Kalau tidak ada sakit manusia tidak akan merasakan kesembuhan. Serta kalau tidak ada penyakit manusia tidak akan mengetahui nikmatnya sehat.

Ketika Allah hendak mengingatkan manusia terhadap berbagai karunia-Nya dan mencicipkan berbagai nikmat-Nya sehingga mau manusia bersyukur, Dia melengkapinya dengan berbagai perangkat yang sangat banyak agar manusia bisa merasakan ribuan nikmat-Nya. Karena itu sudah barang tentu Dia juga menurunkan penyakit sebagaimana Dia memberikan sehat dan kesembuhan.

Mari kita bertanya pada diri kita sendiri, “Seandainya tidak ada penyakit yang menimpa kepala kita, tangan kita, atau perut kita, apakah kita mampu merasakan nikmat sehat yang ada pada kepala, tangan, atau perut kita? Apakah kita mampu merasakan sekaligus mensyukuri karunia ilahi yang diperlihatkan oleh nikmat tersebut? Yang terjadi justru sebaliknya. Kita sering lupa bersyukur, sering alpa. Dengan kealpaan tadi, tanpa disadari kita sering mempergunakan kesehatan tersebut dalam kehinaan.”

Jadi tidak perlu sedih dan khawatir ketika kita sakit karena Allah sudah menyediakan obatnya, sebagaimana janji Allah dalam Alqur’an surat as- Syu’araa ayat 79 – 80 yang artinya: “Dialah yang memberi makan dan minum. Jika aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku” Wallahu A’lam.

*)Tulisan ini telah terbit di Radar Kediri (Jawa Pos Group) 2 Mei 2008

Selasa, 06 Mei 2008

Munajat Syekh Asy-Syibliy

Di dalam kitab Nashoihul Ibad karangan Imam Nawawi Banten, yang merupakan Syarah kitab Al-Munabbihat Alal Isti’dad Liyaumil Ma’ad karangan Syekh Syihabuddin Ahmad Ibnu Hajar Al – Asqolaniy, Ulama’ besar ahli hadits yang mensyarahi Shahih Bukhori menjadi Fathul Bari, dalam Bab TSUNAII maqolah yang ke – 28 diterangkan;

Dari Abu Bakar Asy-Sybliy Rahimahullah berkata dalam munajatnya:

“Wahai Tuhanku, sungguh aku senang mengahturkan kepada-Mu seluruh kebajikanku berikut kemelaratanku dan kelemahanku, maka bagaimana lagi Engkau oh Tuhanku, tidak suka menganugerahkan kepadaku seluruh kejelekanku berikut ke-Maha-kaya-an Mu untuk tidak menyiksaku”.

Kemelaratan disini diartikan dengan keperluan untuk memperoleh kebajikan, dan kelemahan dimaksudkan dengan kelemahan untuk memperbanyak ibadah. Sedang permohonan agar tidak disiksa, karena sesungguhnya kejelekan hamba itu tidak merugikan Allah sebagaimana kebaikan juga tidak menguntungkan-Nya.

Abu Bakar Asy-Syibliy ialah Abu Bakar Dalaf bin Jahdar, lahir dan hidup di Baghdad. Termasuk salah seorang Arif yang agung, menjadi sahabat Imam Al-Junaid dan Ulama lain seperiode dengannya. Imam Asy-Syibliy mengikuti madzhab Imam Malikiy, hidup selama 87 tahun dan wafat tahun 334 H. dimakamkan di Baghdad Irak.

Jumat, 02 Mei 2008

Tawadu'

TAWADU’

Oleh: Nur Akhlis*)

Dalam salah satu karya besarnya yaitu kitab “Al-Hikam”, Syekh Ahmad bin Muhammad Ataillah menyatakan: ” siapa yang merasa dirinya tawadu’, benar-benar dia telah takabur. Sebab tiadalah ia merasa tawadu’ kalau bukan karena sifat tinggi darinya. Maka kapan saja engkau merasa dirimu tinggi, maka engkau benar-benar takabur”.

Tawadu’ memang suatu sifat terpuji bagi orang-orang saleh. Merendahkan diri (tawadu’) adalah hasil dari ibadah. Merendahkan diri kepada Allah SWT. Merasa kecil dan rendah diri dihadapan Allah Rabbul Alamin. Kepada sesama hamba Allah pun manusia harus tawadu’, tidak angkuh dan ujub karena menjadi hamba Allah yang taat menjalankan ibadah, dan patuh atas semua perintah dan menjauhi semua larangan-Nya. Merasa diri tawadu’ termasuk sifat yang angkuh (kibr). Apalagi kalau sifat tawadu’ dipamerkan kepada orang lain, maka jadilah perbuatan ini menjadi riya.

Sifat tawadu’ perlu dimiliki oleh setiap muslim yang saleh, akan tetapi tempat tawadu’ itu di dalam hati. Kalau tawadu’ itu nampak di luar diri seseorang, itulah akhlakul karimah. Karena tawadu’ adalah termasuk akhlak terpuji bagi manusia beriman.

Dalam pergaulan dengan sesama manusia, maka orang pun hendaknya memiliki perasaan tawadu’. Sifat tawadu’ akan menghindari manusia merasa lebih dari yang lain. Merasa lebih soleh, lebih kaya, lebih berderajat, lebih berpangkat, lebih cantik, lebih kuat, dan kelebihan lainnya. Merasa lebih akan membuat manusia angkuh. Sedangkan keangkuhan itu menurut hadits Rasulullah SWA adalah Menolak kebenaran dan merendahkan manusia.(HR Muslim)

Selanjutnya Syekh Ataillah mengatakan: “Bukanlah yang dinamakan tawadu’ itu, apabila orang yang tawadu’ merasakan ia hars berada di atas apa yang ia lakukan. Akan tetapi yang dinamakan tawadu’ adalah orang yang ketika tawadu’ merasakan bahwa dia berada di bawah apa yang ia lakukan.”

Menurut Syekh Asy Syibli, orang yang merasa dirinya berharga, atau minta dihargai, maka ia bukan orang yang tawadu’. Selama kita masih merasa ada orang yang melibihi dirinya, maka sifat ini termasuk sifat sombong. Sedangkan orang yang tawadu’, umumnya sabar, tidak merasa besar dan super.

Hamba Allah SWT yang tawadu’ tidak merasa memiliki kelebihan apapun, tidak merasa memiliki kemuliaan. Tawadu’ baginya adalah sifat dan watak yang harus dimiliki oleh setiap muslim.

Syekh Ataillah mengingatkan: “Hakikat tawadu’ adalah bertawadu’nya seseorang karena melihat keagungan Allah SWT dan sifat-sifat-Nya.

Sebenarnya tawadu’ itu hanyalah sifat terpuji yang tersimpan dalam hazanah kalbu seorang hamba Allah SWT. Ia tidak menunjukkan sifat-sifatnya itu. Ia hanya meneladani akhlak Rasulullah SAW. Ia sendiri tidak merasa memiliki sifat tersebut, karena yang ia pakai dan tiru adalah sifat Rasulullah SAW.

Syekh Ataillah menegaskan: “Tidak ada yang dapat mengeluarkan engkau dari sifat angkuh, kecuali engkau memperhatikan sifat-sifat Allah SWT.”

Kekuasaan Allah SWT adalah sifat yang ada pada-Nya. Dia bersifat Maha Kuasa. Selama manusia tidak memperhatikan sifat-sifat kemuliaan yang ada pada Allah SWT, selama itu pula ia merasa lebih dari manusia lainnya, dan dengan sifat itu ia telah takabur.

Sifat tawadu’ patut dimiliki oleh setiap muslim, karena sifat ini adalah sifat yang diteladani dari sifat utama nabi Muhammad SAW. Sifat ini adalah bagian dari akhlakul karimah.

Nabi Muhammad SAW mengingatkan, “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mewahyukan kepadaku, agar bertawadu’lah kalian, sehingga tak seorangpun menyombongkan dirinya kepada yang lain, atau seorang tiada menganiaya kepada lainnya. (HR Muslim).

*) Tulisan ini telah terbit di Radar Kediri (Jawa Pos Group) Pada tanggal 25 Januaroi 2008.